Minggu, 29 September 2013

Mencintai itu Keputusan (Anis Matta)

Lelaki tua menjelang 80-an itu menatap istrinya. Lekat-lekat. Nanar. Gadis itu masih terlalu belia. Baru saja mekar. Ini bukan persekutuan yang mudah. Tapi ia sudah memutuskan untuk mencintainya. Sebentar kemudian iapun berkata, “Kamu kaget melihat semua ubanku? Percayalah! Hanya kebaikan yang akan kamu temui di sini.” Itulah kalimat pertama Utsaman bin Affan ketika menyambut istri terakhirnya di Syam, Naila. Selanjutnya adalah bukti.

Sebab cinta adalah kata lain dari memberi… sebab memberi adalah pekerjaan… sebab pekerjaan cinta dalam siklus memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi itu berat… sebab pekerjaan itu harus ditunaikan dalam waktu lama… sebab pekerjaan berat dalam waktu lama begitu hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memiliki kepribadian kuat dan tangguh… maka setiap orang hendaklah berhati-hati saat ia akan mengatakan, “Aku mencintaimu.” Kepada siapapun!Sebab itu adalah keputusan besar. Ada taruhan kepribadian di situ. “Aku mencintaimu,” adalah ungkapan lain dari, “Aku ingin memberimu sesuatu.”

Yang terakhir ini juga adalah ungkapan lain dari, “Aku akan memperhatikan dirimu dan semua situasimu untuk mengetahui apa yang kamu butuhkan untuk tumbuh menjadi lebih baik dan bahagia… aku akan bekerja keras untuk memfasilitasi dirimu agar bisa tumbuh semaksimal mungkin… aku akan merawat dengan segenap kasih sayangku, proses pertumbuhan dirimu melalui kebajikan harian yang kulakukan padamu… aku juga akan melindungi dirimu dari segala sesuatu yang dapat merusak dirimu dan proses pertumbuhan itu…” Taruhannya adalah kepercayaan orang yang kita cintai terhadap integritas kepribadian kita. Sekali kamu mengatakan kepada seseorang, “Aku mencintaimu,” kamu harus membuktikan ucapan itu. Itu deklarasi jiwa bukan saja tentang rasa suka dan ketertarikan, tapi terutama tentang kesiapan dan kemampuan memberi, kesiapan dan kemampuan berkorban, kesiapan dan kemampuan melakukan pekerjaan-pekerjaan cinta: memperhatikan, menumbuhkan, merawat dan melindungi.

Sekali deklarasi cinta tidak terbukti, kepercayaan hilang lenyap. Tidak ada cinta tanpa kepercayaan. Begitulah bersama waktu suami atau istri kehilangan kepercayaan kepada pasangannya. Atau anak kehilangan kepercayaan kepada orang tuanya. Atau sahabat kehilangan kepercayaan kepada kawannya. Atau rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemimpinnya. Semua dalam satu situasi: cinta yang tidak terbukti. Ini yang menjelaskan mengapa cinta yang terasa begitu panas membara di awal hubungan lantas jadi redup dan padam pada tahun kedua, ketiga, keempat dan seterusnya. Dan tiba-tiba saja perkawinan bubar, persahabatan berakhir, keluarga berantakan, atau pemimpin jatuh karena tidak dipercaya rakyatnya.

Jalan hidup kita biasanya tidak linier. Tidak juga seterusnya pendakian. Atau penurunan. Karena itu konteks di mana pekerjaan-pekerjaan cinta dilakukan tidak selalu kondusif secara emosional. Tapi disitulah tantangannya: membuktikan ketulusan di tengah situasi-situasi yang sulit. Disitu konsistensi diuji. Di situ juga integritas terbukti. Sebab mereka yang bisa mengejawantahkan cinta di tegah situasi yang sulit, jauh lebih bisa membuktikannya dalam situasi yang longgar.

Mereka yang dicintai dengan cara begitu, biasanya merasakan bahwa hati dan jiwanya penuh seluruh. Bahagia sebahagia-bahagianya. Puas sepuas-puasnya. Sampai tak ada tempat lagi yang lain. Bahkan setelah sang pencinta mati. Begitulah Naila. Utsman telah memenuhi seluruh jiwanya dengan cinta. Maka ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah suaminya terbunuh. Ia bahkan merusak wajahnya untuk menolak semua pelamarnya. Tak ada yang dapat mencintai sehebat lelaki tua itu..

http://rumahkeluarga-indonesia.com/mencintai-itu-keputusan-4952/

Minggu, 22 September 2013

Quotes From Fiqh Dakwah 1 Chapter 2

"Satu demi satu anggota jama'ah diserang kerontokan. Mereka akan gugur seperti daun kering yang jatuh dari pohon besar. Kemudian musuh menggenggam salah satu ranting pohon tersebut disertai anggapan, dengan tercabutnya ranting pohon tersebut akan dapat menghancurkan seluruh pohon itu, sehingga apabila telah tiba saatnya dan ranting pun dicabut, maka keluarlah dari genggamannya seperti kayu kering, tidak mati dan tidak pula hidup, sedangkan pohon tersebut tetap utuh seperti semula."

"..sedangkan pohon tersebut tetap utuh seperti semula.."

(Sayyid Quthb dalam Fiqh Dakwah 1, hal 155)

Senin, 09 September 2013

Buat buletin KAMIL (edisi PMB 2013)

Dalam setiap fase kehidupan manusia, selalu ada persimpangan jalan yang mengajarkan kita untuk memilih, menghadirkan tekad dan tanggung jawab. Karena setiap pilihan merupakan pintu gerbang bagi hamparan konsekuensi dan tentu saja, awal dari pilihan-pilihan selanjutnya. Manusia dewasa adalah mereka yang mampu menentukan pilihan terbaik di antara banyaknya persimpangan, kemudian mempertanggung-jawabkan apa yang telah dipilihnya itu.  

Di jenjang usia yang tak lagi dapat disebut remaja ini, kita menyadari bahwa beban (atau kita sebut saja ia tantangan) dalam menentukan pilihan yang tepat, terkadang menjadi semakin tampak menyeramkan. Konsekuensi menjadi semakin nyata. Kemudian perjalanan pendidikan yang telah lalu, pengalaman pekerjaan yang bagi sebagian orang telah dijalani, latar belakang keluarga, serta lingkungan yang beragam, telah membentuk kita menjadi manusia-manusia dewasa yang ditunggu dunia.

Hei! bukankah kita kini MAHASISWA PASCA SARJANA?!

Kita yang memilih melanjutkan pendidikan, yang bagi sebagian masyarakat Indonesia tampak begitu “wah” dan sulit tergapai.. sekaligus pula tahap yang menuntut banyak kontribusi dan tanggung jawab, penyedia solusi bagi riak problem negeri kita saat ini.

Ya, kehadiran kita sesungguhnya dinantikan oleh dunia..  

Maka, pilihan kita untuk menambah pundi-pundi ilmu, memantapkan bekal dalam beramal, seharusnya tak lagi boleh kita sia-siakan.  

Menuntut ilmu dalam Islam adalah salah satu bukti iman kepada Allah SWT. Dr.Yusuf Al-Qordhowi dalam fiqh prioritas nya mengungkapkan bahwa ilmu itu harus mendahului amal. Mengajarkannya terhitung sedekah, sementara mengkaji dan mendalaminya termasuk jihad fi sabilillah.  

Wahai para penuntut ilmu, kita memang istimewa!

Di tahap ini, akan kita temukan berbagai tantangan baru, dan tak menutup kemungkinan pilihan melanjutkan pendidikan ini adalah batu loncatan bagi impian-impian besar kita di masa depan. Namun satu hal yang harus kita catat bersama, bahwa impian itu sesungguhnya adalah tentang perjuangan.. anda berani bermimpi? Maka mulailah berjuang menggapainya.  

“Bila kamu tak tahan lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan.” (Imam Syafi’i)  

Beruntunglah kita yang diberi kesempatan untuk terus belajar. Rasulullah SAW sendiri sangat menggiatkan umatnya untuk belajar. Karena untuk membangkitkan peradaban yang kuat dimulai dari membangkitkan tradisi menuntut ilmu. Dapat kita temukan dalam catatan shirah (sejarah)  bahwa para sahabat adalah orang-orang yang gemar menuntut ilmu.  

Menuntut ilmu itu tidak berbatas waktu, tak terkotakkan oleh ruang. Menuntut ilmu itu, sejatinya adalah sepanjang hidup. Maka berapa pun kini usia kita, apapun status pekerjaan kita, pilihan menuntut ilmu ini adalah pilihan yang tepat! Kini, tinggal bagaimana terus menata hati, menajamkan fiqri, melembutkan nurani.. seperti yang saya katakan sebelumnya, perjuangan ini tak kan mudah. Tapi tenang saja, derajat nan tinggi dari Allah SWT menanti kita, para pencari ilmu, insya Allah..
  …………………………  

Akhir kata,  

Selamat datang mahasiswa pasca sarjana ITB 2013.

Selamat kembali berjuang, meneruskan tradisi kenabian, menapaki hamparan hikmah, dan berlomba meraih derajat tinggi yang dijanjikan-Nya.  

“..niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujaadillah : 11)  

Sebaik-baik ilmu tentu saja adalah ilmu yang bermanfaat, bagi diri, keluarga, umat, dan agama. Jangan pernah lelah, begitu pun jangan pernah merasa cukup dengan apa yang kita dapatkan nantinya. Sungguh, ilmu Allah begitu luas..  

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(QS. Luqman : 27)

Bandung, 09 sept 2013

LP